Sunday, October 15, 2023

mati, hilang, dan kehilangan

Hari ini salah satu kawan saya berpulang, setelah sekian bulan, tidak hanya ia tapi juga istri dan anak satu-satunya berjuang melawan sakitnya.


Saya mengenalnya dengan nama Kikio. Pertama bertemu dan kenal saat untuk pertama kalinya saya mencoba untuk bekerja sambil kuliah di Bandung, saat itu tahun 2005/2006 seingat saya. Radio Prambors baru saja melebarkan sayapnya untuk membuka studio siaran lokal di berbagai kota selain Jakarta, unit, sebutannya. Jaman SD SMP, Radio Prambors termasuk radio yang selalu saya dengar sama Mba Tuk, ART di rumah yang seumuran dengan saya. Kami juga suka coba-coba telfon untuk request lagu, yang nyoba nelfonnya udah ngandelin muscle memory jemari, karena begitu nada sibuk, harus refleks tekan tombol pemutus dan cepat-cepat memencet nomor radio. Telfon rumah saya belum ada tombol redial kala itu. Penyiarnya Fla, inget betul saya. Saat itu rasanya saya masih SMP. Fla termasuk inspirasi awal yang memotivasi saya untuk bisa fluent berbahasa Inggris. Memori saat SMA beda lagi, karena kemudian ingatan saya akan Radio Prambors di kala itu lekat dengan sponsor pensi, hingar bingar dinamika band indie, dan Katakan Cinta (Halo Mba Vena!). Saat beranjak kuliah, ingatannya berbeda lagi, kala itu saya lebih tertarik dengan siaran pagi yang selalu menghibur (karena ada waktu untuk mendengarkan diatas jam 7 juga, haha), ada Dagienkz dan Desta. Walau sesaat setelahnya saya pindah ke Bandung. Jadi waktu dapat tawaran kesempatan bekerja di Prambors saya ga pikir dua kali. Baru kepilih jadi ketua himpunan jurusan saya lepas. Kegiatan fasilitator aktivitas kreatif anak-anak, yang saya suuuka banget, saya lepas. Tujuan saya jelas, saya mau kerja di Prambors, whatever it takes. Kuliah bisa sambil, haha kebalik.

Ingat betul saat itu pertama kali saya diminta ke kantor Prambors Bandung, di Hotel Preanger. Sambil bawa printed cv, ga kebayang orang-orang yang ada di dalamnya seperti apa, siapa, ga kenal siapa-siapa juga, saya masuk dan menemui seseorang yang duduk di depan meja (dan komputer PC-nya) yang terbuka, bukan di dalam ruangan khusus, di depan studio siaran. Saya celingak-celinguk awkward, disambutnya dengan pertanyaan, 

"Cari siapa?"
"Euh..ini ada janji temu.."
"Oh, calon produser yang baru ya? Sebentar ya.."

Saya duduk di kursi depan mejanya, Ia berlalu ke ruangan di sebelah, ruangan Mas Willy, Program Director Prambors Bandung yang dicomot dari Semarang, pada masanya. 

"Ditunggu ya, nanti masuk aja kesana", ujarnya saat kembali dari ruangan sebelah.

Setelah itu saya tidak ingat detail pasti apa yang terjadi, saya hanya ingat deal gaji bulanan diluar tunjangan ini itu, yang saya tidak ambil pikir juga jumlahnya, bukan karena nominalnya, tapi karena saya memang ingin bekerja, belajar, memulai dan menjadi bagian dari tim yang membangun Prambors Bandung. Hari pertama masuk kerja saya bertemu Ia lagi, setelah itu saya tau, Ia memperkenalkan diri dengan nama Kikio. Kikio mengenalkan saya ke setiap penyiar Prambors dan operator saat itu. Dari yang standby dari malam sampai subuh untuk relay siaran Desta Dagienkz (ini pada masanya emang gini nulisnya, haha, iya saya juga asa euhh..nahaa. Namanya Ari, dulu ada Ari Tulang, karena dia kebalikan dari "tulang" makanya dipanggilnya jadi Daging. At least itu informasi yang saya dapat haha), penyiar-penyiar jam 10, penyiar prime time sore, penyiar malam. Ada Alax, Laras, Mba Ayu, Sandra, Shindu, Yas, dan Joy. Luthfy saat itu sudah lebih dulu kenal karena sempat bertemu saat Ia mengajar di DJ Ari. Saat itu Ia masih jadi penyiar 99ners. Rasanya Luthfy juga yang merekomendasikan saya masuk Prambors. Dari lini operator ada Sahrul, Ridho, Rezda. Ga cuma itu, Kikio yang ngenalin sama anak-anak (ya waktu itu bukan anak2 juga sih..mereka lebih senior dari kita2 yang di prambors ya hahahaha) Female dan Delta. Ga hanya penyiar tapi juga operator, tim sales, tim produksi, tim teknis, tim support, FO sampe "bos-bos" di sana, haha. Waktu itu masih ada Oom Leo (Pak Leo) yang katanya tim yang diposisikan sementara di Bandung dari Jakarta. Sampe sekarang saya ga tau kenapa tapi Pak Leo ini lumayan sering diledekin dan dijadikan bulan-bulanan, haha, cuma denger aja, ikutan ketawa, tapi ga ikut paham konteksnya. Seringnya mereka pakai bahasa Sunda, terutama sama penyiar-penyiar sore. Saat itu saya belum terlalu akrab dengan bahasa Sunda.

Semenjak ada saya, Kikio jadi bisa lebih fokus sama produksi siaran. Tugas copy writing iklan, VO (Voice Over), hampir semua dialihkan ke saya. Dikasih template word dan brief, saya bikin, acc Kikio. Kalo Kikio acc saya lanjut kirim ke tim produksi, cari talent VO, booking talent VO, dan directing pas take VO. Semuanya ngikutin arahan Kikio di awal. Saya merasa semangat dan senang dengan pekerjaan ini karena saya diijinkan, bahkan diapresiasi, untuk mengeluarkan ide-ide yang mungkin aneh, haha. Biasanya ditanggapi dengan, "Apaan sih?", sekarang, "Ok, lucu, cobain aja!" Ga lama tanggung jawab saya nambah, providing topik untuk penyiar, terutama penyiar di saat Kikio belum sampai kantor, juga directing penyiar kapanpun dibutuhkan. Waktu itu Kikio fokus sama acara prime time unit, penyiarnya Shindu sama Yas. Jadi hampir sisa kerjaan lain saya yang back up dengan senang hati. Saya belajar banyak banget. Ga cuma ilmu teknis, tapi juga bahasa Sunda, politik dan dinamika pergaulan dan skena Bandung. Kikio juga membawa Shindu dan Yas saat itu secara ga langsung jadi mentor saya. Mungkin karena Kikio "bertanggung jawab" mendidik saya, membuat Shindu dan Yas juga merasa perlu membekali, ngasih tau, dan nasehatin saya tentang semua-semuanya, haha.

Saya inget banget, pernah ada masanya, saat itu saya baru putus cinta, dan satu-satunya lagu yang saya mau dengar adalah lagunya John Mayer yang Heart of Life. Tiap saya ada di kantor lagu itu pasti saya sisipkan ke playlist siaran. Shindu protes waktu itu, "INI PASTI SI KIWIL NIH!" hahahahahha, tapi Kikio ga protes. Kikio (maupun Shindu dan Yas) saat itu ga pernah jadi sosok yang "temen curhat" menye-menye. Kikio cuma banyak nanya, terus (mungkin) kalo cerita saya terlalu "NAON SIH MANEH GITU DOANG" dia cuma nyengir dan mendengus, sambil matanya lekat di layar komputer. Abis itu dia ngasih kerjaan, atau ngasih referensi, atau pulang kerja ngajak makan bareng Shindu Yas. Paling sering nyengir dan mendengus aja sih. Khas-nya Kikio di mata saya. Tapi dia selalu nanya update. Shindu sama Yas juga semodel sama Kikio. Tapi saya ga feel offended atau diremehkan, kebalikannya, walau ga gitu ditanggepin menye-menyenya, saya selalu merasa ditemenin. WALAU SERING JUGA saya nangis gara2 mereka hahahahaha, biasanya karena ngasih tau kalo kerjaan saya kurang bagus tanpa tedeng aling-aling, hahahaha. Hih gemess! Biasanya saya kalo menye-menye sama penyiar-penyiar pagi yang seumuran, haha, sama Laras atau sama Teh Reina, dulu sempat ada Teh Reina, senior saya yang KP di Prambors. Kalo udah malem dan menye-menye, biasanya tim operator yang jadi teman saya, haha, aduh malu kalo inget, maaf yaaaa Rezda, Ridho, Sahrul! Waktu Luthfy sudah menjabat jadi PD, sering juga saat itu saya "curhat" sama Luthfy, tapi konteksnya lebih ke...dia perlu memastikan performa saya ga kendor, absen ga banyak, dll, hahahha. Tapi mereka semua adalah "Kakak" buat saya dengan segala mines dan ples-nya. Dan pintunya Kikio. 

2006

Ga lama saya kerja bareng Kikio di Prambors Bandung, mungkin setahun-an. Sesaat setelah acara gagasannya, Rock Comedy Attack (RCA) di approve dan mengudara, Kikio undur dari Prambors Bandung, menitipkan juga Yas dan Ucay penyiar RCA-nya. Saya lupa saat itu Ia meneruskan bertualang kemana. Yang saya ingat adalah tanggung jawab-tanggung jawab yang perlu saya emban selepasnya Kikio ga di Prambors. Semua acara kontan jadi tanggung jawab saya, sejalan dengan script iklan, VO, belum lagi kalau ada liputan keluar dan event-event siaran di luar. Saat itu saya sibuk menerapkan jurus-jurus yang sudah Kikio ajarkan sebelumnya. Ga sempurna, ingat betul saya pernah diajak ngobrol one on one sama Shindu karena menurutnya saya kurang "berisi", disuruh baca koran, baca artikel tuh kompas dot kom, jangan baca artikel majalah aja. Berita tuh lokal juga di angkat, tujuan kita tuh mencerdaskan juga, raising awareness, jangan fun-fun aja, sesekali ada artikel berita yang ga selalu berkaitan sama musik atau fashion. HAHA, abis. Belum selesai, pernah juga di pelototin dan di hardik Shindu gara-gara pas waktu gantiin Yas jadi tandem pas Yas ga bisa siaran, saya ngomong "mcd bau kapitalis" hahahahahhahaha. INGET BANGET itu volume mic saya langsung diturunin, dia melotot, tapi sambil ngalihin pembicaraan bridging ke lagu. Abis saya dimarahin. Kayanya abis itu dilaporin ke Kikio, haha, kalo ga Shindu yang cerita ya saya yang cerita sih. Soalnya tiap Kikio main ke studio semua ngeriung dan cerita ini itu selewat.

Rasanya memory saya banyak yang di-compress, di-zip, ga banyak yang saya ingat setelah-setelahnya. Apalagi setelah itu Prambors pindah kantor, tim kami berkembang, ada Eeto yang menggantikan Kikio mengisi peran produser. Berdatangan juga penyiar-penyiar baru. Ga lama saya juga memutuskan keluar. Prambors sudah tidak membuat saya excited lagi. Setelah itu pertemuan-pertemuan dengan Kikio bisa dihitung jari, baik yang kebetulan maupun janjian. Waktu Kikio menikah, lalu waktu saya mau menikah, ketemuan di Potluck yang baru pindah ke Wahid Hasyim saat itu, dan Kikio sedang menjadi bagian dari Potluck. Kikio sempat memberikan wejangan tentang kehidupan pasca menikah. Setelah itu ga pernah ketemu lagi yang janjian. beberapa kali ga sengaja ketemu di Gambir, Kikio sudah bekerja di Agency, saya sudah di Labtek Indie. Pertemuan kami juga singkat jelas padat, update karier, sedikit Kikio cerita juga sedang menjaga Ayahnya yang sakit di Jakarta, itulah sebabnya sering jumpa di Gambir juga. Sempat sekali ambil foto, wefie. 

2019

Sampai terakhir banget ketemu tahun lalu, 19 September 2022. Waktu itu emang janjian, sekalian ajak Fani yang baru pulang sekolah dari US, ketemuan di Kozi DU. Ga foto, selain karena belum mandi, karena juga mikir buat apa, hehe. Tapi Kikio merekam saya dan Fani yang lagi ngobrol, candid. Waktu itu ketemu Kikio badannya mengurus, tapi itu (saya pikir) karena sedang giat bersepeda. Dari rumah di Buah Batu ke kantor yang di Raden Patah pulang pergi naik sepeda. Lepas 19 September sempat beberapa kali janjian jumpa tapi ga kejadian. Ada aja, dari yang kaki saya retak, sambung positif covid, pas sembuh Kikio yang padet submit beberapa pitch, lalu notifikasi whatsapp percakapan kami senyap. 

Sampai Juni tahun ini kembali saya kontak Kikio. Lihat postingan Yas, Kikio masuk borromeus, saya tanya, "Sakit apa Ki?" karena bulan November terakhir kontak Ia bilang sehat. Kikio cerita sejak maret terdiagnosa Sirosis Hati, dan saat itu asites-nya kambuh, penumpukan cairan di perut. 16 Juni itu jadi whatsappan terakhir saya sama Kikio. Bertemu lagi minggu lalu, saya, Sahrul dan Sonson menyempatkan menjenguknya di RSHS. Beberapa kali lihat fotonya di instagram, saya pikir saya siap ketemu Kikio dengan sosoknya yang berubah. Ternyata masih pilu juga lihatnya. Kikio ga berubah masih iseng aja, ngomentarin Sonson dan Sahrul. Jus melon tanpa es dan minim gula yang kami bawa diminum habis. Tapi saat itu Kikio bilang ke saya, dengan ucapan yang sepatah-dua patah kata, lirih, "Gw teh capek..gw capek. gw mikir, ini teh ujungnya apa sih". Kikio juga cerita belanja online, beli kokakola, cuma buat diliatin aja. Sedih banget. Cerita juga kapan tau makan yamin, mie-nya aja, katanya, "Enaaaaaaaak banget! Sumpah enak banget!"

Sepanjang waktu kami mematung, mengajak bicara, mendengarkan. Berusaha untuk bersikap biasa dan tertawa. Tapi kami pilu. Sekitar pukul 12 lewat kami pamit. "Nuhuun pisan!", kata Kikio. "Yooo..sing enggal damang ya Kii!" 

Mendapat kabar pagi ini saat tadi bangun tidur cukup mengaduk-aduk. Saya ga tau how to process. Yang terlintas di benak saya Teh Mira istrinya Kikio dan Cika anaknya. Ada rasa sesuatu, tapi kurang kenal itu rasa apa ya. Kebetulan pagi ini ada janji, jadi dapat kesempatan diam sendirian tanpa banyak mikir, karena cuma lihat jalanan. Ga bisa ke rumah Kikio buat melepas jenazah, saya mikir. Juga mencerna, perasaan yang hinggap. Pagi tadi juga ditelfon Ibu, memperbarui kabar Bapak yang kondisi kesehatannya juga sudah tidak prima, dengan segala dinamika komunikasi di rumah. Saya tidak paham rasa yang hinggap. Saya jadi ingat wawancara Keanu Reeves. 


"What do you think happened when we die, Keanu Reeves?"
".......fuuhhhh...I know that the one who loves us will miss us."

Ini bukan lagi persoalan mereka yang meninggalkan, mereka sudah selesai, tapi yang ditinggalkan. Rasa yang hinggap, saya pikir, ini bukan lagi tentang Kikio. Tapi perasaan-perasaan mereka yang pernah bersinggungan dengan Kikio, dan fitrah manusia yang mudah berempati. Buat saya, yang membuat perasaan entah apa rasanya, mungkin karena memikirkan Teh Mira dan Cika. 

Saya belajar dari Kikio. Saya belajar untuk menikmati segala sesuatu selama bisa. Saya belajar bahwa semua yang saya terima ini nikmat, ia bisa diambil kapan saja. Saya juga diingatkan bahwa semuanya hanya sementara, cuma soal-soal yang perlu kita sense dan responds. Dan walaupun makhluk yang disebut manusia ini punya perasaan, tapi perasaan bukan segalanya, bukan semuanya. Dan kita hanya sebagian kecil dari seluruh cerita. Karena hanya kecil dan sesaat itu, setiap detiknya harus dinikmati dan diperjuangkan yang terbaik. 

Hmm..gw masih suka marah-marah dan ga sabaran sih Ki, apalagi kalo udah tertekan di dalam pressure cooker kehidupan. Termasuk ga sabar experiencing life process itself. But i will die trying and resist those tempatation to surrender to the default of so-called auto-pilot lyfe.

Semoga amal ibadah Kikio diterima di sisi-Nya. 
Semoga Teh Mira dan Cika selalu dalam lindungan-Nya, dimudahkan segala usahanya, dan diberi kelancaran dalam segala niat baiknya. Aamiin.

Saturday, August 12, 2023

(Kem)Bali: Denpasar-Ubud Naik Bus!

Break minggu ini saya mengunjungi Nuha ke Ubud 😀

Akhir Juli kemarin sebetulnya saya juga ke Bali dengan sahabat-sahabat kuliah, dan ke Ubud juga, tapi dengan mindset dan companion yang berbeda, rasa sebuah perjalanan juga menjadi varian yang berbeda-beda.

Kali ini saya pergi ke Ubud dari Denpasar, yang jaraknya kurang lebih 19 kilometer. Kata Gmaps sekitar 70-80 menit naik mobil, 50 menit naik motor, dan 100-150 menit naik bus. Dan karena ada opsi naik Teman Bus, cencuuuuu aku pilih naik Bus..dengan hati yang sangat gembira hahaha! Saya suka banget naik transportasi publik yang terawat, bagus, dan sistematis (kalo berantakan, kotor, dan acak-acakan ga suka karena painful 🥲). Soalnya banyak interaksi yang bisa diamati, diresapi, dan banyak melewati tempat-tempat yang bisa dengan leluasa saya cermati, dan saya pikir-pikir (hahahahaha apaaaa lagi dipikir-pikir, emang oskadon, "yen tak pikir-pikir". Udah ahh).

Nuha bilang, dari tempat saya menginap, saya harus naik ojek dulu sekitar 7 menit, "Ke Halte Katrangan, Kak, nanti naik Bus K4B dari sana..". Baik. Pagi sekitar jam 10 lewat saya melaju dengan ojek ke halte bus Katrangan. 

Turun dari ojek saya bingung, juga tukang ojek-nya, haha. Soalnya di titik maps emang ga ada tulisan Halte sih, dan itu pinggir jalan banget. Ternyata setelah celingak-celinguk ini "halte"-nya:

keliatan ga? coba kita zoom in ya..

Naaah, ini dia..serupa tempat pemberhentian bus aja ternyata..bus stop..

Setelah percaya diri kalau itu dia tujuan saya, akhirnya saya pun menyeberang jalan dan menunggu di balik tanda berhenti bus ini, menanti bus K4B yang kata Gmaps akan lewat setiap 7 menit.

Pemandangan dari tempat saya berdiri menunggu Bus K4B


Pemandangan di belakang saya. Untung tempat pemberhentiannya di depan sebuah rumah yang gerbang depannya cukup tinggi, jadi ada bayangan buat neduh sambil nunggu. Terik juga jam 10an..

Sempat agak ragu juga, "Bus nya bakal lewat ga ya? kaya apa ya Bus nya?" eh kira-kira 4 menit kemudian saya melihat penampakan Bus K4B dari kejauhan. Menurut informasi staff hotel, pembayaran Bus bisa dengan uang elektronik atau QR, aman kalau begitu.

katanya sih, 1 jam 11 menit..

Seperti ini penampakan dalam Bus. Rapi, bersih, dan terawat. Pak Supir juga ramah dan tertib. Full AC.

Begitu masuk, Pak Supir mempersilakan saya untuk membayar dengan QR, yang barcode-nya sudah terpajang di dashboard Bus, sambil Bus perlahan maju saya membayar dengan QR. Rp 4,400 saja, saya tinggal duduk nyaman. Di dalam hanya ada 3 penumpang lainnya, dua pribumi dan seorang perempuan asing yang membawa ransel carrier dan 2 tas kecil lainnya, sedang duduk sambil membaca buku traveling guide Bali. Itu cuma kelihatan sendal jepitnya saja, haha. 

Jalan yang kami lewati, ini ada yang jual Ubi Cilembu, hahahahahaha.

Kira-kira di pemberhentian Batubulan, naik tiga orang anak muda dan satu keluarga yang terdiri dari Ibu, Ayah, Anak perempuan balita, dan Nenek dari balita tersebut. Tidak lama di pemberhentian selanjutnya naiklah seorang perempuan paruh baya yang tampak seperti penjual kipas, Ia tampak membawa kotak dagangannya dan anak balitanya yang juga perempuan. Kira-kira 2 pemberhentian selanjutnya naiklah seorang perempuan yang tampak sudah berusia senja. 

Saya mengamati saja setiap interaksi. Bagaimana sang balita yang naik bersama keluarganya cerewet sekali, tampak terus mengajak bicara si perempuan asing yang kini menutup bukunya dan berusaha ramah berinteraksi kembali, yang mana tak lama ia disembur bersin si anak. Dua kali. Hahahahahahaha, saya ketawa tapi kasihan juga. Untung dia ga lihat saya ketawa. Setelah itu si anak perempuan berusaha mengajak interaksi anak perempuan penjual kipas, tapi si anak perempuan penjual kipas ini lebih anteng, hanya duduk di pangkuan ibunya sambil memeluk, tidak lama saya perhatikan tampak Ia tertidur sementara si anak perempuan yang satunya masih sibuk berbicara dengan bahasanya sendiri. Saat sang ibu mengoper sampah pembungkus makanan ke sang ayah, perempuan berusia senja yang duduk dekat kotak tempat sampah sigap menawarkan tangannya untuk menerima sampah. Sang ayah sempat memberi gestur sungkan, tetapi sang perempuan berusia senja memberi gestur, "Sudah, ayo, sini, gapapa", dan akhirnya sampah dioper tanpa seorang pun harus berdiri.

Quotes yang menarik, sejalan dengan apa yang sering saya dan Saska diskusikan, tentang aspirasi kami untuk jadi pribadi yang melihat dunia atau menerima apapun dengan mindset "biasa aja", ga perlu merasa menjadi "si paling", hahahahahaha, yang surprisingly, ga mudah.
Ga perlu jadi empath, ga perlu jadi membenci juga, ga perlu menghakimi, tapi mencoba untuk memahami, apapun itu, segala sudut pandang dan kemungkinannya..

Saya refleks tersenyum melihatnya. Pas banget, saya sedang sambil meneruskan membaca  buku "Humankind", sampai pada chapter dimana Bregman membedah berbagai riset psikologi sosial yang selama ini menyimpulkan bahwa manusia itu egois dan buruk. Tapi setelah ditilik kembali ternyata simpulan-simpulan riset-riset tersebut sedikit dibelokkan dan tidak objektif. Walau sering terbersit di kepala saya, "Bregman tampak trying too hard untuk membuktikan bahwa manusia pada dasarnya baik..", tapi sungguh, saya ingin sekali mempercayai esai-esai Bregman dalam buku ini. Dan melihat interaksi di dalam transportasi publik yang ramah ini, sungguh menghangatkan hati saya, sehangat terik matahari dari luar yang menembus kaca Bus yang dingin pagi ini.

Di pemberhentian RS Ari Santhi, sang perempuan berusia senja turun. Oh akan ke Rumah Sakit rupanya..sang balita perempuan yang ceriwis tadi melemparkan sayonara yang dibalas sama meriah oleh sang perempuan berusia senja yang perlahan menuruni tangga Bus, keluar. Tiga orang muda-mudi yang naik berbarengan dengan keluarga kecil tadi juga sama ceriwisnya, duduk di depan saya. Lucu kalau menguping obrolan asik orang lain di dalam transportasi publik.

Tidak lama Bus sampai di wilayah Ubud. Satu-persatu para penumpang turun. Pertama sang perempuan asing, lalu muda-mudi tiga orang yang rencananya akan pulang naik transportasi online (lho kok saya tau, hahahahaha). Di Monkey Forest, keluarga kecil dengan anak perempuan ceriwis tadi turun, menyusul sang penjual kipas dengan anak perempuannya turun dekat Ubud Art Market, saya turun terakhir di pemberhentian akhir, Puri Ubud.

Ini pemandangan saat saya hendak turun, disana terlihat QR code untuk membayar di dashboard Bus, saat naik ga sempet saya foto.

Bus Stop terakhir, Puri Ubud, tempat saya turun.

Sesampainya di sana, Nuha sudah menunggu, setelah saya berjumpa dan melepas kangen, kami langsung menuju destinasi pertama: Eco Ego. Hehehehehe. Ini ceritanya waktu 2 minggu lalu kesini dengan sahabat-sahabat kuliah, sempet mampir dan saya naksir anting-anting di toko ini, tapi karena pulangnya buru-buru mengejar sunset di Seminyak, saya ga enak kalo berhenti dulu untuk transaksi beli anting. Jadi deh, baru sekarang kesampaian belinya :)

Setelah itu kami memutuskan cari tempat makan, karena selain sudah jam makan siang, kami perlu tempat yang enak buat ngobrol :) Pilihannya Seniman Coffee, Tropical Ants atau Little..Little apa ya, lupa, hahahahahaha. Akhirnya pilihan jatuh pada Tropical Ants, dan karena agak jauh dari Art Market Ubud, kami meutuskan naik Ojek. Yang lucu, begitu dapet Ojek, chat konfirmasi Abang Ojek saya adalah, "Wait". Dia bahkan ga pake template auto chat 🤣 keren banget!

wait

Selama perjalanan, saya menjumpai Ibu-ibu pedagang yang outfitnya unik sekali. Kalau dilihat sekilas pattern-nya nabrak, tapi saya suka model rok-nya, saya juga suka kenyataan bahwa Si Ibu nabrakin pattern tapi dia PD-PD aja, haha. Kombo dengan kaos kaki walau alas kakinya sendal. KEREN BHUK!

Lalu karena agak macet dan cukup terik, saya sambil menghabiskan es krim magnum varian baru, rasa matcha, yang kami beli sesaat sebelum ojek kami sampai :)

Tidak lama kami sampai di Tropical Ants. Restoran kecil di samping sawah yang homy banget. Awalnya kami duduk menghadap sawah, rasanya seperti duduk depan layar lebar dengan resolusi super detail, padahal ini pemandangan sungguhan!

kaya gini nih, ngajeblak depan meja, depan mata!

Menunya Tropical Ants, ada ceritanya :)

Tapi ga lama saya memutuskan untuk pindah, karena mejanya rendah (dan anginnya ngagelebug). Saya perlu meja agak tinggi supaya kamera laptop saya agak eye-level karena perlu meeting 30 menit lagi 😅. I know, i know, pamaeh pisan..yea well..lyfe.. 🫠

mandatory wefie as evidence! katanya risercer tuh mesti evidence-based, please 🙃

Ngobrol sama Nuha menyenangkan, karena saya bisa cerita ngalor ngidul (setelah meeting), mudah-mudahan buat Nuha juga menyenangkan 😅. Saya menyimak cerita-cerita Nuha dengan pekerjaan barunya, riset-risetnya yang seru-seru, temuan-temuannya tantang sistem sosial dan kasta di masyarakat Bali, dampak kasta dan kesempatan serta pendidikan. Kami membahas soal benang merah intisari buku "Humankind" dan hasil diskusi saya dengan Saska soal "menjadi biasa aja", godaan untuk merasa menjadi "Si Paling", mudahnya kepleset jadi Social Justice Wadimor (hahahahahahhaha, istilah terakhir saya kutip dari story-nya Nuha yang bikin saya ngakak), white-ass previledge saviour mindset, bedanya empati dan simpati, sampai ideasi pekerjaan masa tua kalo mau pensiun dan pindah ke Bali (ehem, driver mobil online). Seneng banget bisa ngobrol santai sambil angin sepoi-sepoi yang makin sore makin ga santai..jadi ngegelebuk..hahahahha. Akhirnya jelang matahari mulai malu-malu, kami juga merencanakan untuk bubar. Seneng banget dapet obrolan, pemandangan sawah, dan waktu jeda yang boleh terasa (sedikit) santai.

Nuha kembali melakukan riset perjalanan ke bus stop mana kita bisa berhenti supaya saya bisa naik Bus K4B lagi. Beneran berasa diasuh ya, tinggal terima rute aja dari Dik Nuha 😌. Baik banget Nuha emang, udah mah ambil cuti buat ketemu saya, ditraktir makan, digambar, disuapin rute pula, hahahahaha. Tak lama kami memesan ojek dan menuju bus stop yang saya udah lupa lagi namanya hahahahaha. BLOG PERJALANAN MACAM APA INIH!

Ojek saya melewati belakang Mongkey Forest, sebelumnya ia masuk ke sebuah jalan yang di ujungnya ada lapangan kecil. Sore itu banyak sekali orang beraktifitas di lapangan tadi. Tua, muda, anak-anak. Seneng banget liatnya.


Sesaat sebelum ojek saya sampai di pemberhentian Bus


Begitu sampai pemberhentian Bus, Nuha sudah lebih dulu sampai dan menunggu saya 🥲. Bahkan sampai pas mau pulang pun dianterin sampai pemberhentian Bus, huhuhuhu. Eh ga lama, pas banget ada Bus K4B yang berhenti, siap membawa penumpang (yang isinya cuma seorang) kembali ke Denpasar. Saya hanya sempat foto lagi satu kali dengan Nuha, memeluknya terakhir sebelum saya naik Bus, "Ayo, ayo Kak, cepet..", "Makasih ya Paaaak!", Ujar Nuha segera setelah saya naik ke dalam Bus, berterima kasih karena si Bapak mau menunggu kami seremonial pelepasan dulu 🥹. Beneran diasuh saya, hahaha, kebalik ya..maaf ya Nuh..

Bus langsung melaju. Hanya ada saya dan seorang perempuan lagi sebagai penumpang. Didalam bus mulai terasa kepala sakit. Antara kopi, angin, atau AC yang merubah suhu luar dan dalam ruangan terasa mendadak bagi tubuh. Saya hanya bisa bersandar di kursi yang ga ada sandarannya itu. Banyak telen ludah supaya mual yang mulai terasa berkurang. Lihat ponsel, baterai saya sudah mau habis. Ga ada colokan. Baik, saya airplane mode dulu, yang penting bisa dipakai panggil ojek nanti sesampainya di Jalan Katrangan.

Sambil terkulai saya melihat stiker-stiker Bus di depan mata saya. Hiburan.


Dilarang berasap.
Dilarang mengeluarkan 3 jari disamping minuman.
Dilarang, "Eh gw suka sama lo, lo mau jadi cewe gw ga?"
Dilarang, anjing.
Dilarang menusuk landar dengan benda tajam kecil dari belakang.
Dilarang megangin mba-mba yang kebelet pipis.


Ini tangga tempat turun keluar Bus. Cukup curam ya, untung ada pegangannya. 


Saya terjemahin ya, ini artinya bus ini khusus untuk orang-orang yang ga tahan berada di area dalam ruangan.


Mulai sore jalanan mulai macet. Sekarang hanya saya penumpang satu Bus ini. Kira-kira lepas maghrib, saat langit sudah gelap, Bus baru tiba di Jalan Katrangan, yang mana nama pemberhentiannya adalah "Art Center Selatan". Saya pun turun, tak lupa berterima kasih kepada Pak Supir (dan Tuhan Yang Maha Esa), mematikan airplane mode untuk pesan ojek.

Sesampainya di penginapan saya cuci-cuci, ganti baju, minum panadol, dan istirahat. Sampai jumpa di tulisan dan cerita petualangan berikutnya!

Salam,
Perempuan sakit kepala tapi ga punya oskadon jadi ga bisa ngomong, "yen tak pikir pikir.."

*menulis sambil ditemani OST Spirited Away yang ceritanya tentang petualangan baru seorang anak perempuan. Petualangan dan perjalanan hardship yang di akhir petualangannya Chihiro (Sang Heroinne) menjadi pribadi yang baru dan bertumbuh. Sebuah animasi yang empowering dengan segala kesederhanaannya 🥲














Tuesday, August 8, 2023

(kem)Bali: 1, 2, 3/15 Barbie, Laundry, dan Warung Saking Timur

day 2, DONE! 😀🙌🏼

Hari pertama dan kedua terlewati dengan aman, alhamdulillah pekerjaan sesi 1 selesai dengan meaningful :)

Di hari ketiga saat jeda, sebelum masuk ke pekerjaan sesi 2, saya mulai dengan olahraga dan disambung dengan sarapan dan beberapa meeting update pekerjaan lain. Tiba-tiba tergerak pengen nonton Barbie. Haha, di Bandung ga sempet. Untungnya ada Puput, teman kuliah yang sekarang tinggal di Bali. Bermodalkan ajakan impulsif, disambut dengan gayung. Maksudnya gayung bersambut. Jadilah kami mendadak makan siang bareng terus nonton Barbie, sambil nunggu jam pulang sekolah anak-anaknya Puput juga 😀✨

day 3 outfit
featuring FrenchLaceLover Matilda ♥️

  

Film Barbie bagus banget deh. Beneran 🥲! Sepanjang nonton Barbie saya ketawa-tawa, nangis, ketawa-tawa, terharu, terenyuh. IH PARAH SIH BAGUS AMAT! Ceritain tentang film Barbie-nya nanti ya, pokoknya bagus banget! Tinggal nonton Oppenheimer nih!

Pulang nonton sama Puput saya melanjutkan niat hari ini: mencuci baju di Laundry Coin! Waktu lihat rekomendasi Google Maps, yang terdekat dan reviewnya bagus, adalah si CityCoin Laundry. Tempat ini juga direkomendasikan Puput. Jadilah saya bergegas kembali keluar setelah memastikan daya baterai ponsel saya cukup terisi, pergi dengan ojek.

Sampai disana ternyata ruangannya cukup enak, ada sofa, ada juga meja panjang dan kursi. Waktu buka pintu masuknya, disambut sama stiker Biznet, asumsi saya disini ada internet dan kenceng. Staff di CityCoin ini juga helpful, cekatan, dan clear penjelasannya. Jadilah saya tiba-tiba member, HAHAHAHA. Engga deng, emang kalo nyuci disana akan otomatis jadi member. 

  

Dan bener internetnya LANCAR JAYA! Kaya jalan tol baru dibuka, beda banget sama di hotel, dengerin lagu aja tersendat-sendat 🥲. Setelah kurang lebih 90 menit, cucian saya selesai. Saatnya cari makan malem. Agak bingung juga mau makan malem apa, tapi pengen cari makanan masakan rumahan yang menunya Bali banget. Kembali google maps to the rescue. Di saat itulah saya membaca nama "Warung Saking Timur" dengan embel-embel sandangan "top rated". Lihat jarak, kurang lebih 1 kilo, dengan waktu tempuh kira-kira 12 menit berjalan kaki. 



"Gojek, jalan, gojek, jalan?" 
"Jalan aja ahh, sambil liat2 ada apa aja yang kelewat!" 

Akhirnya saya memutuskan jalan kaki. Sempet agak khawatir karena diarahinnya masuk ke gang-gang, tapi kupikir aman ahh, cabs ajah! Cobain jadi Gang-ster Bali, Gang siSter 😛

Begitu keluar dan jalan beberapa meter dari CityCoin Laundry, agak khawatir karena jalanan utamanya sedikit sepi, dan rasanya kaya gelap..kaya kurang gitu lampu jalan. Tapi kembali saya memberanikan diri yang sedikit deg-degan. Selama masih ada motor lalu lalang, hajar bleh!

ini jalan utamanya, di luar CityCoin Laundry

Makin lama mulai terlihat jalan yang saya lalui jadi lebih ramai, saya lega. Sampai akhirnya Gmaps mengarahkan saya untuk belok, masuk ke jalan perumahan. Asli gelap! Ada truk berhenti di salah satu sisi jalan di tengah jalan itu sih, tapi pasang lampu hazard gitu. Lagi-lagi terbersit untuk pesen ojek aja apah..tapi kok kaki saya udah belok aja..agak ga singkron. Akhirnya otak saya coba compensate dengan mengarahkan laju kaki untu berjalan lebih cepat. Atuuut..

Ini jalan perumahannya, ini sudah di ujung jalan. Aslinya gelap sih beneran, dan sepiiiiii...di foto kelihatan lebih terang.

Ga lama, jalanan perumahan ini bermuara pada jalan raya, walau jalan rayanya lebih kecil dan masih remang-remang, setidaknya ada kendaraan-kendaraan yang seliweran, saya tenang. Tapi curiga nih, Gmaps bilang sebentar lagi saya harus berbelok ke kanan, tapi sepanjang lewat jalan cuma melewati gang-gang sempit satu motor. 

Kecurigaan saya kontan terbayar, tidak lama saya dihadapkan pada gang yang gelap, dan ga kelihatan ujungnya 😫

"Lanjut, apa pesen ojek pulang aja ya, gausah makan malem?"
"Tapi ini kalo liat di review dan foto-foto menu di warung makannya kayanya enak lho!"
"Iya sih, tapi ga laper-laper amat kok, bisa ditahan.."
"Tapi dikit lagi nyampe nih, masa nyerah?"

Kaki saya putar balik dari mulut gang, menuju jalan besar. Tangan saya bolak-balik ambil ponsel mau buka aplikasi pesan ojek. 

"Eh, tapi coba balik dulu deh segelap apa sih, mata?", otak saya masih coba merayu kaki dengan mengalihkan perhatian ke mata. Berhasil, kaki saya putar balik lagi.
"Ah gilaaa, gelap banget! dan ga ada jaminan itu ada ujungnya 😫" Si penakut dateng lagi, haha.
Kaki langsung putar balik lagi. 
...
Ada untungnya jalanan sepi sih, kalo ga mungkin saya disangka lagi Poco-poco.
malenggang pata pata..ngana pe goyang pica pica..ngana pe body..POCO POCOOOO!

"Yaudah, kalo mau putar balik, tapi apa gamau coba foto dulu, nanti ada justifikasi waktu cerita se-serem apa gang nya.."
kaki langsung nurut putar balik lagi, tangan sigap keluarin kamera ponsel.
Di saat itulah ada motor berbelok ke gang sempit tadi dari jalan besar.
"Naaah..motor aja lewat, pasti ada ujungnya! MASUK!"
Dengan segenap sisa-sisa keberanian akhirnya saya menyanggupi untuk "BISMILLAH YA ALLAH" sambil nahan mewek jalan masuk! 

Jalan. Jalan. Jalan. Tidak lupa gonggongan-gonggangan anjing yang tidak tampak dimana fisiknya. Saya berasa jadi kafilah, karena berlalu. Tsahh! Kafilah itu apa sih artinya sebenernya? mau googling tapi udah kemaleman, nanti ga beres-beres ini ceritanya.

Ga lama saya lihat lampu, lalu dengar suara gamelan. 

Mulai kelihatan, di ujung gang ada tembok..pantesan..makanya dari mulut gang ga kelihatan ujungnya..

Tiba-tiba saya ga merasa sepi lagi, dan mulai bisa melihat ujung gang yang terhalang tembok putih. Ternyata tadi ga kelihatan ujungnya ya karena memang ada tembok. Saya harus belok dulu, kiri..lurus sedikit, baru kanan..naaah..alhamdulillah kelihatan jalan raya!

Di samping mulut jalan raya, ada bangunan ini yang menjadi sumber suara gamelan. Sepertinya sedang berlatih untuk upacara Kuningan Sabtu nanti.

Begitu keluar jalan raya, belok kiri, jalan sedikit, mungkin 15-30 langkah, sampai deh, "Warung Saking Timur"! Alhamdulillah. Berhasil, berhasil, HORE! Bellisimo! Berhasil, berhasil, HORE!




Warungnya sudah sepi, masih ada pengunjung dua grup, tapi sudah sepi. Mungkin karena sudah malam, saya ga sadar sudah hampir pukul 20:30, padahal warung ini tutup pukul 22:00. Tapi ya apa boleh buat, nasi sudah menjadi pindang matah pelecing telur..

    Makanannya enak, otentik masakan rumahnya. Sambal matahnya juga ga terlalu pedas, hanya sambal pelecing-nya puedess..itu yang merah. Dan yang penting lagi, harganya sangat bersahabat 😀♥️

Kira-kira begitu, petualangan saya hari ini. Salam dari Dora keriting yang kembrobyos. Karena jalan kaki sekilo. Karena deg-degan. Juga karena kepedesan!


Pas break 3 hari lagi kemana ya kitaaa? 😀

Sebenarnya pengen banget ketemu teman-teman yang dulu ada di kosan dekat ISI di tahun 2009, tapi saya sudah ga punya kontak mereka lagi..hmmm..internet..show me your power 🪄





Saturday, August 5, 2023

(kem)Bali


25 Februari tahun 2009 adalah tanggal keberangkatan saya ke Bali untuk melakukan penelitian skripsi kala itu. Saat itu saya ga kenal siapa-siapa, belum tau juga mau tinggal di mana. Ga bisa nyetir motor, sementara di Bali ga ada transportasi publik. Modal pertama saya kala itu rekomendasi alamat kos-kosan dekat ISI Denpasar dari Biang Bulan, narasumber pertama penelitian saya, seorang penari yang juga dokter dan kebetulan tinggal juga di Bandung.

Pengalaman keseharian, cerita, dan serba-serbinya saya tulis dengan patuh di blogspot ini. Malahan, pertama kali saya membuat blog ini justru tujuannya adalah untuk mendokumentasikan dan men-jurnal-kan perjalanan penelitian saya ke Bali. Jurnal selama saya di Bali membolang saat itu saya satukan dengan hashtag #JurnalPenelitian Skripsi (iya saya juga gumon sendiri kenapa itu dikasih jeda ya hesteg nya 😅🥲).

Membaca kembali jurnal perjalanan saya kala itu selalu bikin saya senyum-senyum sendiri bahkan beberapa post membawa kembali memori yang bikin saya ketawa-tawa. Untung saya tulis! Karena sebagian besar cerita saya lupa sudah. Dan kalau dibaca-baca lagi, saya pikir waktu itu saya pergi dengan bekal yang minim. Tapi ternyata saya keliru. Karena kalau dipikir-pikir segala kemudahan dan kebetulan yang saya dapatkan juga adalah bekal berharga. Saya pergi dengan doa selamat dan manfaat dari Ibu Bapak saya. Dan karena saya bepergian sendiri, ternyata itupun menarik doa-doa lain dari orang-orang baru yang saya temui. Di hari keberangkatan, di pesawat saya duduk dan ngobrol dengan seorang ibu lain yang juga mendoakan saya setelah kami akan berpisah sesampainya di bandara. Mungkin saya mengingatkannya pada anaknya. Mungkin. Ingatan ini pun baru saya dapatkan kembali saat membaca Jurnal tadi. Di warung makan khas Madiun "Handayani" yang sempat saya datangi untuk makan siang, saya dapat doa dari pemilik warung, namanya Pak Muhartoyo, yang katanya saya mengingatkannya akan cucunya. Di ISI saat saya "mencuri" jaringan wifi-nya saat libur, untuk posting blog, saya bertemu Pak Hendra, seorang dosen dari Bandung. Ada Boit yang lewat Omuu-nya saya bisa membeli Lonely Planet second keluaran tahun 1999 dan lewat celetukan dan sapaannya mengandung peduli dan sayang. Ada Budi Sradha yang bantuin pesen tiket pesawat dan beli online-nya, karena jaman itu proses pembayaran tiket online lumayan jelimet dan saya ga ngerti. Ada Anika Miranti yang tak pernah luput membaca update harian blog saya, selalu komen, dan nanya kalau sudah beberapa hari saya ga posting. Saat itu jaringan internet belum lazim, untuk saya update blog saja harus ke warnet dulu. Kalau mau menyapa orang yang jauh, ya SMS atau telepon 😅. Ada Mba Danti yang menghubungkan saya ke Mas Bondi yang baiiik banget mau minjemin saya sepeda lipetnya, dan di hari-hari terakhir traktir saya makan, tau aja mahasiswa ga punya uang yakan 🥲 mana charger laptop sempet rusak dan terpaksa beli baru 😭. Ada teman-teman baru di kosan yang baik banget tiap libur bawa saya ke kampung halaman mereka, kasih saya akses gratis ke pertunjukkan-pertunjukkan tari yang bisa saya rekam untuk kepentingan penelitian. Ada Winda dan Ratih yang pinjemin saya kamera video recorder. Ada Oggy juga yang sepulang saya penelitian, bantuin mindahin Mini DV artefak rekaman penelitian saya ke CD. Semoga kalian semua sehat ya, lancar rejeki dan usaha kalian, terlebih, semoga dimudahkan selalu untuk merasa cukup dan bahagia. Aamiin.

Saat itu saya ke Bali dengan excitement menjelajah dunia baru, unknown possibility yang kemudian mempertemukan saya dengan segudang pengalaman bermanfaat, pupuk-pupuk yang menumbuhkan saya menjadi saya yang sekarang. Bahkan inspirasi nama Laut saya dapat karena perjalanan skripsi ini (walau saat itu boro-boro mikir nama anak, pacar aja gada *ehem). Saat ini kebetulan saya ke Bali lagi untuk waktu yang cukup lama, kurang lebih 15 hari untuk urusan pekerjaan. Dan kebetulan, daerah tempat saya beraktivitas tidak terlalu jauh dari ISI Denpasar, tempat saya mengambil data saat itu. Pertama sampai sebetulnya agak hilang orientasi, saya bahkan lupa alamat tempat kos saya tahun itu. Tapi sempat tanya-tanya peserta yang memang orang Bali, Mba Lisa namanya, penari juga :) Dari Mba Lisa saya dapat nomor telepon dan alamat Bu Arini, narasumber utama penelitian saya. Membaca kembali jurnal perjalanan saat itu juga membantu pelan-pelan ingatan demi ingatan kembali. Rasanya lucu. Ada perasaan excited, ada perasaan nostalgic, yang jelas saya punya banyak pertanyaan, 

"Apa kabar kawan-kawan dulu ya?" 

"Dimana ya mereka sekarang?" 

"Mungkin ga ya untuk ketemu lagi sekarang?" 

Saya benar-benar berharap mereka semua sehat dan hidup serba berkecukupan..

Tuesday, March 14, 2023

Melindungi dan Melayani. Siapa?

Tolong, ada yang bisa membantu saya memahami logika cara kerja negara ini melindungi warga negaranya?

Saya punya pertanyaan terkait kasus-kasus penangkapan warga negara nih. Kita ambil contoh kasus obat-obatan terlarang aja ya. Baru-baru ini dikasih soal cerita yang berkaitan dengan penyalahgunaan obat-obatan terlarang. 

Saya paparkan alur logika yang saya pahami dan asumsikan dulu ya. Dalam UUD 1945 Pasal 30 ayat (4), di jelaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. 

Sekarang kita menggunakan sudut pandang perihal obat-obatan terlarang ya. Kalau objektifnya adalah (pertama) melindungi, lalu mengayomi, serta melayani masyarakat, saya berasumsi, bahwa tindakan yang seharusnya digalakkan adalah mencegah. Saya punya asumsi demikian karena tugas yang diberikan negara pada role-circle polisi ini adalah terlebih dulu melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Menegakkan hukum dicantumkan paling akhir, dan kata-katanya menegakkan hukum, saya berasumsi ada implikasi peran analisis disana. Hukum apa yang tidak tegak, mengapa, dan bagaimana duduk perkaranya. Semua warga Indonesia yang pernah menyimak pelajaran pendidikan pancasila dan kewarganegaraan pasti tahu kalau menggunakan dan atau mengedarkan obat-obatan terlarang melanggar hukum. Kalau logika dan nalarnya jalan, ya kan? 

Logika:
Kalau tidak ada yang mengedarkan sedari awal, maka tidak akan ada yang menggunakan. Hukum Ekonomi bilang, jika tidak ada demand tidak akan ada supply. Akur? Ok. Jadi logika saya supply demand ini yang perlu dikaji dan diatur. Kalau bisa STOP TUNTAS supply, UNTUK MENCEGAH ada demand. Karena fokus utamanya melindungi warga negara. Kalau sampai terpantau ada demand, usut supply-nya, cabut akarnya.

Pertanyaan:

  1. Kalau polisi menjalankan tugas yang diberikan negara, fokusnya pada melindungi warga negaranya, bukankan seharusnya ia melindungi warganya dari pengedar?
  2. Kalau polisi menjalankan tugas yang diberikan negara, punya mental-model (mindset) mengayomi masyarakat, saat mendapati ada seorang pengguna, bukankah sebaiknya pendekatan yang dipakai berfokus pada rehabilitasi pengguna, mencari metode yang paling mutakhir dan efektif, melakukan studi-studi user-centered bekerjasama dengan universitas kedokteran atau lembaga terkait lainnya, alih-alih mengancam hukuman penjara? *Lain soal kalau pengguna ini ikut mengedarkan ya.
  3. Fokus pada objektif pertama, melindungi, bukankah lebih baik menemukan akar borok penjual dan pengedar dan menjatuhkan hukuman sesuai ketentuan kepada para pengedar dan penjual, alih-alih menghukum pengguna?
  4. Kalau polisi menjalankan tugas yang diberikan negara, melayani masyarakat, apakah kerabat pengguna tidak termasuk masyarakat yang juga harus dilayani? Jika kerabatnya ditangkap karena menggunakan obat-obatan terlarang, bukankah harusnya dilayani bagaimana kerabat yang mungkin merasa dibohongi ini bisa menemukan solusi terbaik untuk mencegah anak atau kerabatnya menggunakan lagi, alih-alih meminta kerabat membayar?
  5. Kalau polisi menjalankan tugas yang diberikan negara, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, apakah cocok dengan modus operandi memantau pengguna, memancing pengguna, dan menangkap pengguna untuk dihukum? Bagaimana dengan pengedarnya?
  6. Kalau polisi bisa memantau pembeli, membeli obat-obatan terlarang, menarget si pengguna untuk diamankan setelah sekian lama, tidakkah terpantau juga si pengedar? Apakah si pengedar juga diamankan?
  7. Kalau aturan yang sudah sekian lama dibuat ternyata tidak efektif, dan kejadian berulang terjadi lagi, apakah tidak sebaiknya ada pengkajian dan analisis ulang? Mungkinkah ada structure yang enable proses pemberantasan terkendala?
Pertanyaan terakhir:
Apakah mental-model penegak hukum di negara ini, yang utama adalah menghukum masyarakat sebelum melindungi, mengayomi, dan melayani?

Ah, mungkin terlalu berat membahas obat-obatan terlarang. Kalau kita bergeser kacamata, melihat dari sudut pandang penertiban lalu lintas, misalnya. Kembali lagi, kalau tugasnya adalah melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, saya rasa bijaknya fokus tindakan yang digalakkan adalah menyediakan rambu dan marka yang sangat jelas bagi pengguna jalan. Yang seragam dan minim ambiguitas. 

Apakah kalau di perempatan, belkibolang hanya berlaku jika ada rambu, kenapa kalau dilarang belkibolang juga tidak diberikan rambunya? Kenapa masih ada saja yang melanggar batas maksimal kecepatan di jalan raya (apakah rambu dibuat sebagai dekorasi jalanan saja)? Adakah kajian di dalam kepolisian mengenai mental-model masyarakat dalam memahami aturan lalu lintas? Mengapa mental-model demikian tercipta? 

Melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Mayoritas masyarakat yang waras dan tegak logikanya, jika merasa dilindungi, diayomi, dan dilayani, saya jamin akan ikhlas mematuhi aturan hukum. Maka tugas Anda untuk menegakkan hukum akan lebih efektif efisien berfokus pada oknum yang melakukan pelanggaran. Dan saya percaya, mayoritas masyarakat Indonesia, kaya maupun miskin, adalah warga negara yang baik, warga negara yang humanis. Warga negara yang waras dan tegak logikanya. Tapi jika kami terus diberikan harapan yang semu, jika kami merasa negara tidak berpihak pada kami, merasa bahwa tugas kami sebagai warga negara adalah melindungi, mengayomi, dan melayani penguasa, bagaimana kami bisa memelihara kewarasan dan tegak logika kami?

mati, hilang, dan kehilangan

Hari ini salah satu kawan saya berpulang, setelah sekian bulan, tidak hanya ia tapi juga istri dan anak satu-satunya berjuang melawan sakitn...